Di Mulai dari Kampung ikut mencerdaskan Bangsa

Tampilkan postingan dengan label Dunia Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dunia Anak. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 Mei 2025

Siapa Penemu Kalender Masehi dan Kenapa Februari Cuma 28 Hari?


Setiap hari kita melihat kalender. Kita mencatat ulang tahun, deadline kerja, tanggal merah, atau sekadar menghitung hari libur. Tapi pernah nggak kamu bertanya-tanya, siapa sih yang pertama kali bikin kalender seperti yang kita pakai sekarang? Kenapa bulan Januari 31 hari, Maret juga 31, tapi Februari cuma 28—kadang 29?

Ternyata, di balik kalender yang tampak biasa itu, ada sejarah panjang yang melibatkan kaisar, astronom, bahkan paus! Yuk, kita telusuri bareng-bareng.


Kalender Masehi: Warisan dari Julius Caesar

Kalender Masehi yang kita pakai sekarang dasarnya berasal dari Kalender Julius, yang diperkenalkan oleh Julius Caesar pada tahun 45 sebelum Masehi (SM). Sebelumnya, bangsa Romawi punya sistem kalender yang kacau dan nggak sesuai dengan peredaran matahari. Akibatnya, musim sering bergeser dan perayaan keagamaan jadi tidak tepat waktu.

Caesar, dengan bantuan seorang astronom Mesir bernama Sosigenes, memperbaiki sistem itu. Mereka menetapkan bahwa:


Satu tahun terdiri dari 365 hari,

Dan setiap 4 tahun sekali ditambahkan 1 hari ekstra untuk menyesuaikan dengan peredaran bumi mengelilingi matahari (yang sebenarnya butuh sekitar 365,25 hari).

Inilah asal mula tahun kabisat. Bulan Februari jadi tempat menambahkan hari ekstra itu.


Kenapa Jumlah Hari Tiap Bulan Tidak Sama?

Awalnya, Julius Caesar membagi bulan dengan lebih merata. Tapi ada campur tangan politik juga, lho!

Setelah Caesar wafat, bulan kelima (yang dulu bernama Quintilis) diubah menjadi Julius (Juli) sebagai penghormatan untuknya. Beberapa tahun kemudian, Kaisar Augustus juga ingin bulan keenam dinamai sesuai namanya: Augustus (Agustus).

Masalahnya, bulan Juli punya 31 hari, sedangkan Agustus cuma 30. Masa kalah sama Julius? Maka diputuskanlah Agustus juga dibuat 31 hari. Untuk menyeimbangkan jumlah hari dalam setahun, akhirnya hari diambil dari bulan Februari, menjadikannya hanya 28 hari—atau 29 saat tahun kabisat.

Cerita ini sering disebut-sebut sebagai asal-usul kenapa Februari pendek. Walau ada perdebatan di kalangan sejarawan apakah ini 100% akurat, versi ini tetap menarik karena menunjukkan bagaimana politik bisa memengaruhi kalender!


Kalender Gregorian: Koreksi dari Paus

Tapi ternyata, kalender Julius masih kurang presisi. Selisih kecil 0,0078 hari per tahun (karena tahun sebenarnya ≈ 365,2422 hari) menyebabkan pergeseran musim sebesar 1 hari setiap 128 tahun. Lama-lama, perayaan keagamaan seperti Paskah jadi bergeser dari musim yang seharusnya.

Maka, pada tahun 1582, Paus Gregorius XIII memperkenalkan Kalender Gregorian untuk memperbaiki hal ini. Perubahannya cukup signifikan:

  • 10 hari dihilangkan dari kalender saat itu (tanggal 4 Oktober langsung lompat ke 15 Oktober!),
  • Sistem tahun kabisat diperketat:

    • Tahun habis dibagi 4 = kabisat,
    • Kecuali jika habis dibagi 100,
    • Kecuali lagi kalau juga habis dibagi 400 → maka tetap kabisat.

Contoh:

  • Tahun 2000 = kabisat (karena habis dibagi 400),
  • Tahun 1900 = bukan kabisat (karena hanya habis dibagi 100, bukan 400).

Sistem inilah yang masih kita pakai sampai sekarang di seluruh dunia.


Penutup: Kalender Bukan Sekadar Angka

Ternyata, kalender bukan cuma soal tanggal dan bulan. Di baliknya ada sejarah, ilmu astronomi, bahkan ego penguasa. Hal-hal kecil seperti "kenapa Februari cuma 28 hari" ternyata punya cerita panjang yang menyenangkan untuk diselami.


Jadi, lain kali kamu buka kalender, coba deh tengok sekilas bulan Februari. Meskipun paling pendek, dia menyimpan cerita sejarah yang nggak kalah panjang!


Kamis, 15 Mei 2025

"Ayah Bangga Padamu, Nak!" – 6 Cara Menumbuhkan Kebiasaan Anak Perempuan Membantu Ibunya di Rumah

Sebagai seorang ayah, ada rasa haru dan bangga yang muncul saat melihat anak perempuan kita—masih duduk di bangku SD—sudah sigap membantu ibunya di rumah. Bukan karena dipaksa, tapi karena tumbuh dari kebiasaan dan rasa peduli. Inilah nilai yang ingin saya tanamkan: bahwa menjadi ringan tangan itu indah.

Berikut beberapa tips sederhana yang saya praktikkan sendiri, yang semoga bisa menginspirasi ayah dan ibu lain:

1. Berikan Teladan yang Baik dari Ayah dan Ibu

Anak belajar paling cepat dari apa yang ia lihat. Ketika ayah tidak segan ikut mencuci piring atau menyapu halaman, anak jadi tahu bahwa semua anggota keluarga bisa saling membantu.

Contoh:

Setiap Sabtu pagi, saya sengaja ikut menyapu halaman dan kadang mengelap meja makan. Tanpa disuruh, anak saya yang kelas 2 SD ikut-ikutan ambil lap dan mulai mengelap meja kecil di ruang tamu. Ia tersenyum sambil bilang, “Biar rapi kayak punya Ayah!”

2. Libatkan Anak Sejak Dini, Tapi Sesuaikan dengan Usia

Jangan tunggu anak besar untuk mulai membantu. Justru usia dini adalah waktu terbaik membentuk kebiasaan positif—asal sesuai dengan kemampuan.

Contoh:

Anak saya mulai dari hal kecil, seperti mengambilkan bawang dari kulkas, menyusun sendok, atau melipat serbet. Kadang tak rapi, tapi kami biarkan. Yang penting, dia senang dan merasa berkontribusi.

3. Jadikan Momen Membantu Sebagai Waktu Berkualitas

Membantu tak harus serius dan kaku. Saat anak merasa bahwa membantu itu menyenangkan, ia akan melakukannya tanpa disuruh.

Contoh:

Saat anak membantu ibunya memotong sayur, saya putar musik anak-anak dan kami bernyanyi bersama. Terkadang, kami bermain tebak-tebakan jenis sayur atau buah. Suasana jadi hidup, dan anak tak merasa sedang "bekerja."

4. Berikan Apresiasi Tulus, Bukan Hadiah

Anak perlu merasa bahwa tindakannya berarti. Bukan karena ia berharap hadiah, tapi karena ia dihargai.

Contoh:

Setelah anak membantu menyapu, saya peluk dia dan bilang, “Terima kasih ya, rumah jadi bersih banget karena kamu. Ibu pasti senang.” Wajahnya berseri-seri. Itu cukup jadi "hadiah" untuknya.

5. Tanamkan Nilai Peduli, Bukan Sekadar Tugas

Anak perlu memahami mengapa ia membantu, bukan hanya apa yang harus ia lakukan. Ini membentuk empati dan kepedulian.

Contoh:

Saat ibu terlihat lelah setelah mencuci, saya ajak anak bicara, “Lihat, Ibu capek, ya? Kalau kita bantu sedikit-sedikit, Ibu bisa istirahat lebih awal.” Ia mengangguk dan langsung mengambil sapu kecilnya.

6. Tunjukkan Dampaknya, Agar Anak Merasa Penting

Anak akan semangat kalau tahu bantuannya punya pengaruh nyata. Ini membentuk rasa tanggung jawab dan percaya diri.

Contoh:

Setelah anak membantu merapikan meja makan, saya tunjukkan hasilnya sambil berkata, “Wah, lihat deh! Meja makan jadi cantik banget. Kalau ada tamu datang pasti kagum.” Ia melihat hasilnya dan tampak bangga.

Penutup: Bangga Itu Sederhana

Mendidik anak perempuan untuk rajin membantu bukan semata-mata soal pekerjaan rumah. Ini tentang menanamkan nilai-nilai hidup yang akan ia bawa sampai dewasa: peduli, tanggung jawab, dan kebersamaan. Sebagai ayah, saya percaya peran kita sangat penting untuk mendampingi dan memberi teladan.

Karena sesungguhnya, pujian dari seorang ayah—“Ayah bangga padamu, Nak”—adalah bahan bakar yang tak ternilai untuk tumbuh kembang jiwa anak gadis kita.

Senin, 05 Mei 2025

Bekal Anak Menghadapi Masa Depan


Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tantangan ini, kecerdasan intelektual saja tidak cukup. Kita memerlukan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki akhlak mulia. Pendidikan karakter, khususnya yang berlandaskan nilai-nilai Islam, menjadi bekal penting dalam membentuk pribadi yang tangguh dan bertakwa.

Apa itu Pendidikan Karakter dalam Islam?

Pendidikan karakter dalam Islam dikenal juga dengan istilah akhlaqul Karimah. Islam mengajarkan bahwa akhlak mulia adalah bagian dari kesempurnaan iman.

Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Ahmad)
Nilai-nilai seperti jujur (shidq), amanah, sabar, menghormati orang tua, dan peduli terhadap sesama adalah bagian integral dari pendidikan karakter dalam Islam.

Mengapa Pendidikan Karakter Berbasis Islam Penting?

Pendidikan karakter bukan sekadar membentuk perilaku baik di hadapan orang lain, tetapi juga mengajarkan kesadaran bahwa setiap perbuatan diawasi oleh Allah SWT. Nilai-nilai spiritual Islam memberi landasan kuat agar anak bertindak dengan niat yang lurus dan hati yang bersih.

Cara Menanamkan Pendidikan Karakter Islami di Rumah :
  • Menjadi Teladan dalam Ibadah dan Akhlak
Orang tua yang rajin shalat, jujur, dan sabar dalam menghadapi masalah menjadi contoh nyata bagi anak-anak.
  • Mengaitkan Nilai Karakter dengan Kisah Nabi dan Sahabat
Kisah Nabi Muhammad SAW yang lembut kepada anak-anak, jujur dalam berdagang, dan sabar dalam menghadapi ujian bisa menjadi bahan diskusi harian yang membekas.
  • Membiasakan Doa dan Dzikir Sehari-hari
Doa sebelum belajar, sebelum makan, dan setelah bangun tidur bukan hanya rutinitas, tapi mengajarkan kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aktivitas.
  • Mengapresiasi Amal Shalih
Saat anak bersikap jujur atau membantu orang lain, pujian dan doa seperti “Barakallahu fiik” memberi kesan mendalam dan mendorong perilaku positif.

Peran Sekolah dalam Pendidikan Karakter Islami :
Sekolah Islam atau sekolah umum dengan muatan agama bisa memperkuat pendidikan karakter melalui:
  • Pembiasaan adab harian seperti memberi salam dan menjaga kebersihan.
  • Kajian keislaman dan shalat berjamaah.
  • Kegiatan sosial seperti sedekah bersama atau berbagi saat Ramadan.
Pendidikan karakter berbasis Islam tidak hanya membentuk anak menjadi pribadi baik, tetapi juga hamba Allah yang taat. Inilah investasi jangka panjang, tidak hanya untuk dunia, tetapi juga akhirat.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman ayat 13:
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
Mari jadikan rumah dan sekolah sebagai ladang subur bagi tumbuhnya karakter dan akhlak mulia yang berakar pada ajaran Islam.

Jumat, 13 November 2015

PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS ANAK

ANAK YANG SERING DIMARAHI :

Seorang ibu muda bangga ketika anaknya sudah tidak lagi mengalami sibling rivalry, ketika anak pertamanya mampu mengasuh adiknya, sang ibu ini sangat bangga dengan kepatuhan anaknya, anak pertamanya memang sangat patuh bahkan cenderung pasiv. Setiap ibunya menatap dengan tatapan tajam sang anak langsung mundur dari berbagai aktivitas dan segera memilih menghentikan aktivitas, sebuah perilaku yang menyenangkan menurut ibu muda tersebut tetapi belum tentu baik menurut Kesehatan Jiwa.

Pola asuh orang tua berpengaruh dalam perkembangan psikologis anak, seorang anak yang terlalu sering dibentak, seorang anak yang terlalu patuh dan penurut memiliki potensi untuk menjadi penderita Harga Diri Rendah, mengapa seorang anak yang diasuh dengan cara kasar tersebut mengalami Harga Diri Rendah? karena anak tidak pernah mendapatkan reward terhadap apa yang telah ia lakukan. Akibat anak tidak mendapatkan reward maka dia akan merasa tidak berharga, merasa selalu salah, merasa tidak memiliki kelebihan dan merasa tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan.

Pola asuh orang tua yang salah justru membuat kebanggaan anak terhadap dirinya menjadi runtuh, anak menjadi sangat tergantung dengan orang lain, kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan cenderung ragu - ragu dengan apa yang akan dia lakukan, tanpa dukungan dari orang tua secara penuh maka anak menjadi sangat pasiv, kemampuan yang sangat sederhana yang dia miliki tidak akan dia keluarkan.

Pola asuh yang sangat keras bahkan bisa meninggalkan satu dampak psikologis buruk anak di masa depan, jika mereka kemudian menanamkan mindset yang salah tersebut kedalam benaknya dan menganggap bahwa diri mereka tidak berharga maka anak akan menjadi menjauh dari interaksi sosial, orang tua yang belum menyadari pengaruh pola asuh terhadap perkembangan psikologisnya cenderung membuat anak gagal di masa depannya, mereka gagal memahami diri, gagal memahami orang lain dan menurunkan impian bahkan visi hidupnya ke taraf yang paling rendah.


Efek Perceraian pada Pertumbuhan Anak :

Setiap perceraian orangtua, menjadikan anak sebagai korban utama. Studi terbaru menemukan, efek merugikan pada tumbuh kembang anak dengan orang tuanya bercerai sangat luas.

Studi yang dilakukan peneliti Universitas Wisconsin Madison menyimpulkan, anak dengan orang tua bercerai memiliki prestasi yang tertinggal jatuh dibanding rekan sebaya mereka dalam bidang matematika dan sosial. Mereka juga lebih mungkin menderita kecemasan, stres dan rendah diri.

Peneliti utama, Hyun Sik Kim mengatakan efek merugikan pada anak-anak sudah dimulai sebelum orang tua memulai proses perceraian.

"Orang cenderung berpikir bahwa pasangan terlibat konflik perkawinan dalam waktu yang cukup intens sebelum perceraian," ujar kandidat PhD sosiologi seperti dikutip Yahoo Health.

"Anak yang orangtuanya bercerai akan mengalami dampak negatif bahkan sebelum orangtua mengurus proses perceraian formal.”

Temuan yang dipublikasikan dalam American Sociological Review, didasarkan pada data 3.585 siswa TK hingga kelas lima sekolah dasar untuk menguji dampak sebelum, selama dan setelah perceraian.

Kim membandingkan kemajuan anak-anak yang orangtuanya bercerai dengan anak-anak dari keluarga stabil.

"Dampak negatif tidak memburuk setelah perceraian, meskipun tidak ada tanda-tanda anak dari pasangan bercerai dapat mengejar ketinggalan dengan rekan-rekan mereka, baik," jelas Kim.

Ia mengaitkan kemunduran perkembangan anak-anak dengan beberapa faktor. Diantaranya, stres karena melihat pertengkaran orang tua, hidup tidak stabil dan dipaksa membagi waktu antara orang tua dan kesulitan ekonomi dari penurunan pendapatan keluarga.

"Perceraian membuat orang tua tidak bisa fokus pada anak-anak. Mereka juga rentan berdebat dengan anak-anak. Inilah yang dapat mempengaruhi perkembangan anak-anak."

QRIS KCI

QRIS KCI

Anchor Rinaldi KCI

Lokasi Kegiatan

Pengunjung

Populer

Diberdayakan oleh Blogger.