Di Mulai dari Kampung ikut mencerdaskan Bangsa

Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Karakter. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Karakter. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 Mei 2025

“Haji yang Tak Sampai, Tapi Pahalanya Mabrur”: Kisah Abdullah bin Al-Mubarak


Setiap musim haji, umat Islam dari berbagai penjuru dunia memadati Mekkah untuk menunaikan rukun Islam kelima. Namun, ada satu kisah yang menunjukkan bahwa kemuliaan ibadah tidak selalu terletak pada pelaksanaan lahiriahnya, melainkan pada ketulusan hati dan pengorbanan yang menyertainya.

Inilah kisah Abdullah bin Al-Mubarak, seorang ulama besar dan ahli zuhud dari abad ke-2 Hijriah, yang dikenal sebagai salah satu tabi‘ut tabi‘in. Namanya harum sebagai ulama, mujahid, dan pedagang dermawan. Namun, ada satu kisah dari kehidupannya yang menjadi teladan tentang arti ibadah yang sejati.


Kisah yang Diriwayatkan

Suatu tahun, Abdullah bin Al-Mubarak bersiap untuk menunaikan ibadah haji. Ia membawa bekal dan harta untuk perjalanan, termasuk juga untuk bersedekah di tanah suci. Namun dalam perjalanan, ia singgah di Kufah dan mendapati seorang perempuan sedang memungut bangkai seekor unggas dari tempat sampah.

Abdullah bin Al-Mubarak bertanya, dan perempuan itu menjawab:

“Aku dan anak-anakku sudah beberapa hari tidak makan. Kami sangat lapar, sehingga aku mengambil bangkai ini untuk kami makan.”

Mendengar hal itu, Abdullah bin Al-Mubarak tergugah hatinya, lalu memberikan seluruh bekal haji yang ia bawa kepada perempuan tersebut. Ia mengurungkan niat hajinya, dan kembali ke rumah.


Mimpi yang Menggetarkan Jiwa

Beberapa jamaah haji yang sedang berada di Mekkah melihat Abdullah bin Al-Mubarak, beliau sedang bertawaf di Ka’bah, beribadah seperti jamaah lainnya.

Setelah mereka kembali ke negerinya, mereka bertanya kepada Abdullah, dan beliau menjawab:

“Aku tidak berangkat haji tahun ini.”

Mereka pun terkejut, sebab mereka melihat beliau di tanah suci. Maka mereka yakin bahwa itu adalah karunia dari Allah, bahwa Abdullah bin Al-Mubarak telah dicatat sebagai orang yang berhaji dan mendapatkan haji mabrur karena pengorbanannya yang tulus.


Riwayat Hadisnya

Kisah ini bukan merupakan hadis Nabi SAW, melainkan riwayat atsar dari Abdullah bin Al-Mubarak yang diriwayatkan oleh:

  • Ibnul Jauzi dalam Shifat ash-Shafwah (4/118)
  • Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’
  • Adz-Dzahabi dalam Siyar A‘lam an-Nubala’ (8/403)

Meskipun bukan hadis Nabi, riwayat ini memiliki sanad kuat dan dikenal luas di kalangan ulama, dijadikan contoh tentang keikhlasan dan nilai amal dalam Islam.


Pelajaran dari Kisah Abdullah bin Al-Mubarak

  • Ibadah yang Hakiki adalah yang Dilakukan dengan Hati

Allah menilai niat dan pengorbanan, bukan semata bentuk ritualnya.

  • Menolong Orang Lain Bisa Lebih Utama dari Ibadah Sunnah atau Individu

Dalam kondisi tertentu, menyelamatkan nyawa orang lain lebih utama daripada menunaikan ibadah pribadi, seperti haji.

  • Pahala dari Allah Tak Terbatas pada Tempat dan Waktu

Allah mampu memberi pahala setara haji mabrur kepada siapa saja yang beramal dengan ikhlas, meski tidak menginjakkan kaki di Tanah Suci.

  • Keikhlasan Mendatangkan Kemuliaan

Abdullah bin Al-Mubarak tidak mencari popularitas. Namun justru Allah sendiri yang meninggikan derajatnya.


Penutup: Menjadi Haji di Mana Saja

Kita semua tentu ingin menunaikan ibadah haji. Tapi kisah ini mengingatkan kita bahwa haji mabrur bukan semata soal sampai ke Mekkah, melainkan soal sampainya hati kepada Allah melalui amal yang ikhlas dan peduli pada sesama.

Semoga kisah ini menjadi pengingat bahwa di mana pun kita berada, peluang mendapatkan pahala besar selalu terbuka, selama kita jujur, tulus, dan mencintai kebaikan.


Minggu, 18 Mei 2025

Menjadi Teman yang Baik: Peran Orang Tua dalam Membentuk Anak Perempuan yang Peduli dan Supportif


Di era sekarang, kemampuan anak perempuan untuk menjadi teman yang baik bukan hanya soal kemampuan sosial, tapi juga bagian penting dari pendidikan karakter. Sejak kecil, anak perlu belajar bagaimana hadir untuk orang lain, mendengarkan, memberi semangat, dan menjadi teman sejawat yang tulus—bukan sekadar rekan bermain, tapi sosok yang bisa dipercaya dan menguatkan satu sama lain.

Sebagai orang tua, peran kita sangat penting dalam membentuk kepribadian ini. Berikut beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mendukung anak perempuan agar tumbuh menjadi pribadi yang suportif dalam pertemanan:


1. Ajarkan Empati Sejak Dini

Empati adalah kunci utama dalam membangun hubungan yang sehat. Anak yang mampu merasakan perasaan orang lain akan lebih mudah menjadi teman yang peduli.

🔹 Contoh:

Saat anak bercerita tentang temannya yang sedih karena nilai jelek, orang tua bisa berkata, "Bagus kamu mendengarkan dia. Mungkin kamu bisa bantu dia belajar lain kali?"


2. Jadilah Teladan dalam Berteman

Anak belajar dari apa yang ia lihat. Saat orang tua menjaga hubungan baik dengan teman, membantu tetangga, atau berbicara dengan hormat, anak akan meniru sikap tersebut.

🔹 Contoh:

Libatkan anak saat Anda mengunjungi teman yang sedang sakit, dan tunjukkan bagaimana cara menunjukkan kepedulian lewat tindakan sederhana.


3. Dampingi Saat Anak Menghadapi Konflik Pertemanan

Konflik dalam pertemanan adalah hal wajar. Orang tua perlu hadir sebagai pendengar dan pembimbing, bukan sebagai hakim.

🔹 Contoh:

Daripada langsung menyalahkan teman anak, tanyakan, "Menurut kamu, apa yang bisa kamu lakukan supaya hubungan kalian bisa membaik?"


4. Bangun Kepercayaan Diri Anak

Anak yang percaya diri akan lebih mudah menjadi pendengar yang baik dan tidak merasa terancam oleh keberhasilan temannya. Ia akan lebih siap memberi semangat daripada merasa iri.

🔹 Tips:

Berikan pujian atas usaha, bukan hanya hasil. Dorong anak untuk mencoba hal-hal baru dan rayakan proses belajarnya.


5. Ajak Anak Berdiskusi tentang Arti Persahabatan

Momen santai seperti saat makan malam bisa jadi waktu emas untuk membahas topik ini.

🔹 Pertanyaan sederhana:

"Menurut kamu, teman sejati itu seperti apa?" atau "Apa yang paling kamu suka dari sahabatmu?"

Diskusi seperti ini akan membuka wawasan anak dan memperkuat nilai-nilai dalam dirinya.


6. Kenalkan Anak dengan Lingkungan Positif

Lingkungan memengaruhi cara anak berteman. Sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, hingga lingkungan keluarga besar bisa menjadi tempat belajar bersosialisasi secara sehat.

🔹 Tips:

Ajak anak aktif di kegiatan sosial seperti kerja bakti, pengajian anak-anak, atau kelompok hobi agar ia belajar bersosialisasi dengan berbagai karakter.


Penutup: Perempuan yang Tangguh, Peduli, dan Bersahabat

Menjadi teman sejawat yang suportif adalah bagian dari perjalanan tumbuh menjadi perempuan yang kuat dan berempati. Orang tua, khususnya ibu dan ayah, punya peran besar dalam membentuk karakter ini lewat teladan, pendampingan, dan kehangatan keluarga.

Karena dunia membutuhkan lebih banyak anak perempuan yang bukan hanya cerdas, tapi juga hangat, penuh kasih, dan mampu menjadi cahaya bagi sekitarnya—dimulai dari menjadi teman yang baik.


Kamis, 15 Mei 2025

"Ayah Bangga Padamu, Nak!" – 6 Cara Menumbuhkan Kebiasaan Anak Perempuan Membantu Ibunya di Rumah

Sebagai seorang ayah, ada rasa haru dan bangga yang muncul saat melihat anak perempuan kita—masih duduk di bangku SD—sudah sigap membantu ibunya di rumah. Bukan karena dipaksa, tapi karena tumbuh dari kebiasaan dan rasa peduli. Inilah nilai yang ingin saya tanamkan: bahwa menjadi ringan tangan itu indah.

Berikut beberapa tips sederhana yang saya praktikkan sendiri, yang semoga bisa menginspirasi ayah dan ibu lain:

1. Berikan Teladan yang Baik dari Ayah dan Ibu

Anak belajar paling cepat dari apa yang ia lihat. Ketika ayah tidak segan ikut mencuci piring atau menyapu halaman, anak jadi tahu bahwa semua anggota keluarga bisa saling membantu.

Contoh:

Setiap Sabtu pagi, saya sengaja ikut menyapu halaman dan kadang mengelap meja makan. Tanpa disuruh, anak saya yang kelas 2 SD ikut-ikutan ambil lap dan mulai mengelap meja kecil di ruang tamu. Ia tersenyum sambil bilang, “Biar rapi kayak punya Ayah!”

2. Libatkan Anak Sejak Dini, Tapi Sesuaikan dengan Usia

Jangan tunggu anak besar untuk mulai membantu. Justru usia dini adalah waktu terbaik membentuk kebiasaan positif—asal sesuai dengan kemampuan.

Contoh:

Anak saya mulai dari hal kecil, seperti mengambilkan bawang dari kulkas, menyusun sendok, atau melipat serbet. Kadang tak rapi, tapi kami biarkan. Yang penting, dia senang dan merasa berkontribusi.

3. Jadikan Momen Membantu Sebagai Waktu Berkualitas

Membantu tak harus serius dan kaku. Saat anak merasa bahwa membantu itu menyenangkan, ia akan melakukannya tanpa disuruh.

Contoh:

Saat anak membantu ibunya memotong sayur, saya putar musik anak-anak dan kami bernyanyi bersama. Terkadang, kami bermain tebak-tebakan jenis sayur atau buah. Suasana jadi hidup, dan anak tak merasa sedang "bekerja."

4. Berikan Apresiasi Tulus, Bukan Hadiah

Anak perlu merasa bahwa tindakannya berarti. Bukan karena ia berharap hadiah, tapi karena ia dihargai.

Contoh:

Setelah anak membantu menyapu, saya peluk dia dan bilang, “Terima kasih ya, rumah jadi bersih banget karena kamu. Ibu pasti senang.” Wajahnya berseri-seri. Itu cukup jadi "hadiah" untuknya.

5. Tanamkan Nilai Peduli, Bukan Sekadar Tugas

Anak perlu memahami mengapa ia membantu, bukan hanya apa yang harus ia lakukan. Ini membentuk empati dan kepedulian.

Contoh:

Saat ibu terlihat lelah setelah mencuci, saya ajak anak bicara, “Lihat, Ibu capek, ya? Kalau kita bantu sedikit-sedikit, Ibu bisa istirahat lebih awal.” Ia mengangguk dan langsung mengambil sapu kecilnya.

6. Tunjukkan Dampaknya, Agar Anak Merasa Penting

Anak akan semangat kalau tahu bantuannya punya pengaruh nyata. Ini membentuk rasa tanggung jawab dan percaya diri.

Contoh:

Setelah anak membantu merapikan meja makan, saya tunjukkan hasilnya sambil berkata, “Wah, lihat deh! Meja makan jadi cantik banget. Kalau ada tamu datang pasti kagum.” Ia melihat hasilnya dan tampak bangga.

Penutup: Bangga Itu Sederhana

Mendidik anak perempuan untuk rajin membantu bukan semata-mata soal pekerjaan rumah. Ini tentang menanamkan nilai-nilai hidup yang akan ia bawa sampai dewasa: peduli, tanggung jawab, dan kebersamaan. Sebagai ayah, saya percaya peran kita sangat penting untuk mendampingi dan memberi teladan.

Karena sesungguhnya, pujian dari seorang ayah—“Ayah bangga padamu, Nak”—adalah bahan bakar yang tak ternilai untuk tumbuh kembang jiwa anak gadis kita.

Sabtu, 10 Mei 2025

"Ayah, Kenapa Bunda Tidak Berjilbab?" — Sebuah Obrolan Tentang Ajakan Seorang Anak Kepada Bundanya



“Ayah, kenapa Bunda tidak pakai jilbab?” tanyanya sambil menyuapkan nasi ke mulut bonekanya. Kalimat itu datang tiba-tiba, tapi tidak asal lewat.

Aku terdiam sejenak. Pertanyaannya sederhana, polos, tapi punya muatan yang besar. Ia hanya seorang anak perempuan yang sedang belajar tentang dunia, tentang iman, dan tentang bagaimana orang-orang di sekelilingnya membuat pilihan. Aku tahu, ini bukan cuma soal kain yang menutupi kepala. Ini tentang cara kami menjelaskan nilai, iman, dan cinta — tanpa menghakimi dan tanpa memaksakan.

Saat Pertanyaan Datang, Aku Belajar Mendengarkan

Aku menatap matanya yang bulat dan jernih. Ia tidak bertanya karena ingin membanding-bandingkan, apalagi menghakimi. Ia hanya ingin tahu. Mungkin ia pernah mendengar di sekolah, dari teman, atau dari cerita-cerita yang kami bacakan. Dan kini, ia ingin memahami dunia dengan logikanya sendiri.

Dalam hati, aku bergulat. Haruskah aku menjawab ini dengan dalil panjang? Haruskah aku memberi penilaian terhadap pilihan ibunya? Atau… ini justru kesempatan untuk mengajarinya sesuatu yang lebih penting: bagaimana cara berbicara dengan cinta.

“Nak, Kamu Boleh Mengajak, Tapi Tidak Menghakimi”

Akhirnya aku berkata:

“Nak, memakai jilbab adalah anjuran dalam agama kita, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Tapi setiap orang punya perjalanan imannya masing-masing. Bunda, seperti semua orang, sedang dalam perjalanannya juga. Kamu boleh, dan bahkan baik, jika ingin mengajak Bunda dengan lembut. Tapi ajakan itu harus datang dari cinta, bukan paksaan.”

Ia mengangguk kecil, seolah menangkap sebagian besar maksudku. Lalu ia bertanya lagi, “Kalau aku nanti pakai jilbab, Bunda marah nggak?”

Aku tersenyum, memeluknya.

“Bunda akan bangga. Karena kamu sudah memilih dengan hatimu. Dan kamu juga harus belajar, kalau pilihan orang lain tidak selalu sama dengan pilihanmu — tapi itu tidak membuat mereka jadi lebih buruk darimu.”

Di Dalam Rumah, Kami Belajar Bertumbuh Bersama

Anak-anak adalah peniru ulung. Tapi lebih dari itu, mereka adalah pengamat yang tajam. Mereka belajar bukan hanya dari buku agama atau guru di sekolah — tapi dari cara ayahnya menjawab, dari cara ibunya bersikap, dari cara keluarga menanggapi perbedaan.

Dalam obrolan singkat itu, aku berharap ia belajar tiga hal: bahwa agama adalah perjalanan, bahwa cinta tidak pernah memaksa, dan bahwa keluarga adalah tempat terbaik untuk bertanya — bahkan untuk hal-hal yang paling sensitif sekalipun.

Menanamkan Nilai, Bukan Hanya Aturan

Kami ingin membesarkan anak yang paham bahwa dalam hidup ini, tidak semua hal hitam dan putih. Ada banyak warna di antaranya. Dan tugas kita sebagai orang tua bukan hanya menunjukkan mana yang benar, tapi juga bagaimana cara menyampaikan kebenaran dengan kasih.

Kami ingin ia tumbuh menjadi pribadi yang bisa mengajak, tanpa menyakiti. Yang bisa berbeda, tanpa merasa lebih baik. Dan yang bisa taat, tanpa merendahkan.

Ajakan dari Anak Adalah Doa yang Tulus

Ketika anak mengajak bundanya untuk mengenakan jilbab, itu bukan kritik, bukan penolakan — itu doa dalam bentuk yang paling polos. Tapi doa juga harus dibarengi dengan penghormatan pada proses orang lain.

Semoga kelak, jika Bunda memutuskan untuk mengenakan jilbab, itu bukan karena tekanan, melainkan karena ajakan yang penuh cinta dari seorang anak — dan karena keyakinan yang tumbuh dari hati.


Membimbing Anak Perempuan Mencintai Jilbab : Tips Lembut yang Menguatkan


Sebagai orang tua, tentu kita ingin menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kecintaan terhadap syariat Islam sejak dini kepada anak-anak, termasuk dalam hal berjilbab bagi anak perempuan. Namun, mengenalkan jilbab bukan hanya soal pakaian, melainkan membentuk rasa cinta, kesadaran, dan kenyamanan dalam hati anak.

Berikut adalah beberapa kiat yang bisa dilakukan orang tua agar anak merasa nyaman, senang, dan bangga memakai jilbab — baik di rumah maupun di luar rumah.

1. Menjadi Teladan yang Dicintai

Anak adalah peniru ulung. Ia akan lebih mudah menerima kebiasaan berjilbab jika ia melihat sosok yang ia cintai — ibunya, kakaknya, atau orang terdekat — mengenakan jilbab dengan bahagia dan penuh keyakinan. Tampilkan bahwa memakai jilbab bukanlah beban, tapi bentuk kebanggaan dan cinta kepada Allah.

2. Kenalkan Makna Jilbab dengan Cara yang Menyenangkan

Ajarkan bahwa jilbab adalah tanda kehormatan, penjagaan, dan identitas perempuan muslim. Gunakan bahasa cinta, bukan bahasa ancaman. Bisa lewat cerita, video edukatif, buku bergambar, atau dongeng sebelum tidur tentang tokoh perempuan sholehah.

3. Libatkan Anak dalam Proses Memilih Jilbab

Bawa anak ke toko dan biarkan ia memilih warna dan motif jilbab yang ia suka. Gunakan bahan yang nyaman dan sesuai usia. Ketika ia merasa senang dengan jilbab pilihannya, ia akan lebih semangat untuk memakainya.

4. Bangun Kebiasaan Bertahap dan Tanpa Paksaan

Tidak perlu langsung mewajibkan anak memakai jilbab seharian. Mulailah dengan momen tertentu seperti ke masjid, mengaji, atau saat bermain di luar rumah. Seiring waktu dan kebiasaan, anak akan lebih siap untuk memakai jilbab secara konsisten.

5. Beri Pujian dan Penguatan Positif

Setiap kali anak menunjukkan usaha memakai jilbab, beri apresiasi. Ucapan seperti “MasyaAllah, cantik sekali anak ibu hari ini pakai jilbab!” bisa memberi semangat luar biasa dalam diri anak.

6. Ciptakan Lingkungan yang Mendukung

Pergaulan juga berpengaruh besar. Bila anak berada di lingkungan teman-teman sebaya atau komunitas yang juga mendukung gaya hidup islami, ia akan merasa berjilbab adalah hal wajar, bahkan menyenangkan.

7. Tanamkan bahwa Jilbab adalah Hadiah, Bukan Beban

Jangan jadikan jilbab sebagai ancaman (“kalau nggak pakai, nanti dimarahi Allah!”), tapi hadiah istimewa dari Allah yang membuat perempuan istimewa dan terlindungi. Ini penting agar anak tumbuh dengan kesadaran, bukan ketakutan.


Penutup

Menanamkan kecintaan terhadap jilbab bukan pekerjaan sehari dua hari. Dibutuhkan kelembutan, kesabaran, dan keteladanan dari orang tua. Tapi percayalah, usaha kecil yang kita mulai hari ini akan menjadi kebiasaan yang berakar kuat di hati anak. Semoga anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang mencintai agamanya, termasuk dalam menunaikan syariat dengan sukacita.


Selamat mendampingi anak mencintai jilbabnya, ya! 🌸

Senin, 05 Mei 2025

Bekal Anak Menghadapi Masa Depan


Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tantangan ini, kecerdasan intelektual saja tidak cukup. Kita memerlukan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki akhlak mulia. Pendidikan karakter, khususnya yang berlandaskan nilai-nilai Islam, menjadi bekal penting dalam membentuk pribadi yang tangguh dan bertakwa.

Apa itu Pendidikan Karakter dalam Islam?

Pendidikan karakter dalam Islam dikenal juga dengan istilah akhlaqul Karimah. Islam mengajarkan bahwa akhlak mulia adalah bagian dari kesempurnaan iman.

Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Ahmad)
Nilai-nilai seperti jujur (shidq), amanah, sabar, menghormati orang tua, dan peduli terhadap sesama adalah bagian integral dari pendidikan karakter dalam Islam.

Mengapa Pendidikan Karakter Berbasis Islam Penting?

Pendidikan karakter bukan sekadar membentuk perilaku baik di hadapan orang lain, tetapi juga mengajarkan kesadaran bahwa setiap perbuatan diawasi oleh Allah SWT. Nilai-nilai spiritual Islam memberi landasan kuat agar anak bertindak dengan niat yang lurus dan hati yang bersih.

Cara Menanamkan Pendidikan Karakter Islami di Rumah :
  • Menjadi Teladan dalam Ibadah dan Akhlak
Orang tua yang rajin shalat, jujur, dan sabar dalam menghadapi masalah menjadi contoh nyata bagi anak-anak.
  • Mengaitkan Nilai Karakter dengan Kisah Nabi dan Sahabat
Kisah Nabi Muhammad SAW yang lembut kepada anak-anak, jujur dalam berdagang, dan sabar dalam menghadapi ujian bisa menjadi bahan diskusi harian yang membekas.
  • Membiasakan Doa dan Dzikir Sehari-hari
Doa sebelum belajar, sebelum makan, dan setelah bangun tidur bukan hanya rutinitas, tapi mengajarkan kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aktivitas.
  • Mengapresiasi Amal Shalih
Saat anak bersikap jujur atau membantu orang lain, pujian dan doa seperti “Barakallahu fiik” memberi kesan mendalam dan mendorong perilaku positif.

Peran Sekolah dalam Pendidikan Karakter Islami :
Sekolah Islam atau sekolah umum dengan muatan agama bisa memperkuat pendidikan karakter melalui:
  • Pembiasaan adab harian seperti memberi salam dan menjaga kebersihan.
  • Kajian keislaman dan shalat berjamaah.
  • Kegiatan sosial seperti sedekah bersama atau berbagi saat Ramadan.
Pendidikan karakter berbasis Islam tidak hanya membentuk anak menjadi pribadi baik, tetapi juga hamba Allah yang taat. Inilah investasi jangka panjang, tidak hanya untuk dunia, tetapi juga akhirat.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman ayat 13:
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
Mari jadikan rumah dan sekolah sebagai ladang subur bagi tumbuhnya karakter dan akhlak mulia yang berakar pada ajaran Islam.

Rabu, 17 Maret 2021

9 Tips Menjaga Lingkungan Sekitar Tempat Tinggal agar Tetap Sehat



Menjaga lingkungan tetap bersih agar terhindar dari berbagai serangan penyakit merupakan hal yang sangat penting. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung telah mengimbau dalam akun media sosial instagramnya, untuk menjaga kebersihan lingkungan.

Berikut ini merupakan tips untuk lingkungan lebih sehat.
  • Jauhkan anak dari pembakaran sampah dan asap kendaraan
  • Buang air besar dan kecil di wc
  • Bersihkan rumah dan lingkungan, buang sampah pada tempatnya
  • Cuci tangan pakai sabun
  • Melakukan 5M pada sarang nyamuk
  • Menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga
  • Membuang ventilasi dan jendela agar cahaya matahari dapat masuk dan sirkulasi udara lebih baik.

Jumat, 13 November 2015

Pentingnya Pendidikan Karakter Dalam Dunia Pendidikan

“Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk 275 juta penduduk Indonesia”

Sebelum kita membahas topik ini lebih jauh lagi saya akan memberikan data dan fakta berikut:
  • 158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011
  • 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011
  • 30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI
  • Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU,KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, dan BKPM
Sumber : Litbang Kompas
Kini setelah membaca fakta diatas, apa yang ada dipikran anda? Cobalah melihat lebih ke atas sedikit, lebih tepatnya judul artikel ini. Yah, itu adalah usulan saya untuk beberapa kasus yang membuat hati di dada kita “terhentak” membaca kelakuan para pejabat Negara.
Pendidikan karakter, sekarang ini mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja, tapi dirumah dan di lingkungan sosial. Bahkan sekarang ini peserta pendidikan karakter bukan lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia dewasa. Mutlak perlu untuk kelangsungan hidup Bangsa ini.
Bayangkan apa persaingan yang muncul ditahun 2021? Yang jelas itu akan menjadi beban kita dan orangtua masa kini. Saat itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai belahan Negara di Dunia. Bahkan kita yang masih akan berkarya ditahun tersebut akan merasakan perasaan yang sama. Tuntutan kualitas sumber daya manusia pada tahun 2021 tentunya membutuhkan good character.
Bagaimanapun juga, karakter adalah kunci keberhasilan individu. Dari sebuah penelitian di Amerika, 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.
Bagaimana dengan bangsa kita? Bagaimana dengan penerus orang-orang yang sekarang sedang duduk dikursi penting pemerintahan negara ini dan yang duduk di kursi penting yang mengelola roda perekonomian negara ini? Apakah mereka sudah menunjukan kualitas karakter yang baik dan melegakan hati kita? Bisakah kita percaya, kelak tongkat estafet kita serahkan pada mereka, maka mereka mampu menjalankan dengan baik atau justru sebaliknya?
Dari sudut pandang psikologis, saya melihat terjadi penurunan kulaitas “usia psikologis” pada anak yang berusia 21 tahun pada tahun 20011, dengan anak yang berumur 21 pada tahun 2001. Maksud usia psikologis adalah usia kedewasaan, usia kelayakan dan kepantasan yang berbanding lurus dengan usia biologis. Jika anak sekarang usia 21 tahun seakan mereka seperti berumur 12 atau 11 tahun. Maaf jika ini mengejutkan dan menyakitkan.
Walau tidak semua, tetapi kebanyakan saya temui memiliki kecenderungan seperti itu. Saya berulangkali bekerjasama dengan anak usia tersebut dan hasilnya kurang maksimal. Saya tidak “kapok” ber ulang-ulang bekerja sama dengan mereka. Dan secara tidak sengaja saya menemukan pola ini cenderung berulang, saya amati dan evaluasi perilaku dan karakter mereka. Kembali lagi ingat, disekolah pada umumnya tidak diberikan pendidikan untuk mengatasi persaingan pada dunia kerja. Sehingga ada survey yang mengatakan rata-rata setelah sekolah seorang anak perlu 5-7 tahun beradaptasi dengan dunia kerja dan rata-rata dalam 5-7 tahun tersebut pindah kerja sampai 3-5 kali. Hmm.. dan proses seperti ini sering disebut dengan proses mencari jati diri. Pertanyaan saya mencari “diri” itu didalam diri atau diluar diri? “saya cocoknya kerja apa ya? Coba kerjain ini lah” lalu kalau tidak cocok pindah ke lainnya. Kenapa tidak diajarkan disekolah, agar proses anak menjalani kehidupan  di dunia yang sesungguhnya tidak mengalami hambatan bahkan tidak jarang yang putus asa karena tumbuh perasaan tidak mampu didalam dirinya dan seumur hidup  terpenjara oleh keyakinannya yang salah.
Baiklah kembali lagi ke topik, Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa Indonesia, sanggup?
Theodore Roosevelt mengatakan “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.” Artinya, mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat.

QRIS KCI

QRIS KCI

Anchor Rinaldi KCI

Lokasi Kegiatan

Pengunjung

Populer

Diberdayakan oleh Blogger.