Belajar tatap muka yang ditargetkan berlangsung pada Juli 2021 mendapat sokongan dari Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTKI) Kecamatan Makassar, Jakarta Timur. Ada 49 sekolah Taman Kanak-kanak yang berada dalam naungan organisasi IGTKI tersebut.
Namun demikian, rencana ini harus dilihat kembali perkembangan dari tren wabah tersebut.
"Kalau ada kebijakan pemerintah bulan Juli boleh masuk sekolah, artinya pemerintah punya pandangan tersendiri dengan covid-19 itu sudah mereda atau zonanya sudah tidak merah," kata Marjilah, Ketua IGTKI Makasar, Jaktim saat dihubungi Liputan6.com, Senin (8/3/2021).
Dia mengungkapkan, dirinya pernah menyebar angket kepada orangtua murid tentang belajar tatap muka. Angket dikeluarkan ketika pembelajaran itu direncanakan berlangsung pada semester dua lalu.
"Hasilnya lebih banyak yang mendukung kalau zonanya ada di lingkungan sekolah dan kondisinya aman, tapi ada (juga yang minta) masih PJJ saja. Namun dari angket yang disebarkan waktu itu mendukung dengan protokol kesehatan," ucap dia.
"Orang tua murid sejauh ini, andai pemerintah sudah mengizinkan, mayoritas mereka bersedia," imbuh Marjilah.
Sementara itu Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengungkapkan, penerapan sekolah tatap muka dapat diberlakukan berdasarkan kondisi di daerah masing-masing. Karena setiap daerah memiliki persoalan berbeda.
"Kebijakan tatap muka tidak bisa dilakukan secara pukul rata, melainkan harus dilihat bagaimana situasi dan kondisi penyebaran covid di daerah. Jadi memang harus lebih detail, hati-hati sesuai situasi dan kondisi yang ada di daerahnya," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Senin (8/3/2021).
Berdasarkan SKB 4 Menteri, penentuan pembukaan sekolah tatap muka diserahkan kepada daerah. Kepala daerah dapat menentukkan dibuka secara barengan atau bertahap atau mulai dari sekolah tertentu.
"Jadi lebih baik percayakan kepada kepala daerah yang memahami situasi tetapi juga dengan satgas covid di daerah situ. Lalu kemudian ada pertimbangan satgas nasional, sehingga data-data benar," jelas dia.
Artinya, lanjut Doni, pemerintah daerah harus memperoleh pertimbangan dari banyak pihak, termasuk kesiapan tenaga kesehatan, faskes ketika ada kasus, lalu asesmen awal ketika dimintakan SKB 4 Menteri harus ada.
"Kesiapan sekolah, sarana prasarana, komunikasi dengan komite sekolah, persetujuan dari orangtua tetap berlaku," ucap dia.
Terkait risiko, dia menilai dapat dilihat dari daerahnya. Masing-masing wilayah bisa menerapkan sesuai tingkat zonasi penyebaran covid-19.
"Pelaksanaan pembelajaran juga tidak bisa seperti dulu lagi, kalau jumlah satu kelas 30 murid, nanti enggak bisa lagi seperti itu. Harus bergantian on-off ada yang belajar di rumah, ada yang belajar di sekolah. Bergantian karena ruangnya enggak cukup," terang Doni.
Untuk itu, agar disokong penuh oleh orangtua siswa, penanganan pandemi covid-19 harus ditangani secara serius oleh pemerintah pusat maupun daerah. Bila tidak, jangan harap orang tua memberikan izin berangkat ke sekolah.
"Enggak serius atasi covid, orang tua tidak akan izinkan anak sekolah. Di Jakarta kalau sekolah dibolehkan, orangtua mungkin belum mau anaknya sekolah. Karena ada kaitan trasportasi, gurunya, dan harus ada asesmen, pendataan," jelas dia.
Dia menilai pembelajaran tatap muka yang dipersiapkan dengan baik akan menjadi ideal. Namun karena situasi pandemi Covid-19, model ideal itu menjadi mimpi yang diinginkan.
"Daripada kita berhasulinasi, lebih baik siapkan secara nyata saat ini kondisinya seperti apa. Maka kalau PJJ belajar dari rumah, mekanisme agar efektif harus dikembangkan sekolah, pemerintah daerah terutama daerah-daerah yang kemudian koneksi internet dan jaringan enggak ada. Mereka cari cara alternatif agar semua anak Indonesia punya hak belajar," terang dia.
Doni menegaskan, pembelajaran jarak jauh dapat dimaksimalkan dalam kondisi saat ini. Karena itu bisa dilakukan dan lebih efektif.